Kolektivitas tanpa Komunitisasi dan Kolektivitas Imajiner
Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus. |
Dari komentar-komentar yang telah masuk, awesome writer menemukan berbagai komentar yang bertanya lebih lanjut tentang konsep-konsep lain dari konsep kolektivitas itu sendiri. Komentar-komentar tersebut terutama ingin memahami lebih lanjut bagaiamana kolektivitas inklusi numerik dan imagined communities (kolektivitas imajiner). Menurut awesome writer ini muncul karena di akhir tulisan awesome writer memang sempat menyinggung dua konsep tersebut sebagai spektrum lain dari konsep kolektivitas yang digagas oleh Couldry dan Hepp. Dengan demikian, awesome writer ingin membahas dua konsep tersebut dalam tulisan kali ini.
Kolektivitas Inklusi Numerik
Menurut Passoth, Sutter dan Wehner (2014 dalam Hepp dan Krotz 2014) relasi antara penyedia konten, khalayak, dan produksi kultural lainnya dewasa ini telah berubah. Para khalayak ini telah terkonsentrasi melalui kalkulasi numerik. Kita menjadi kerumunan yang terhimpun akibat adanya perhitungan statistik.
Apa yang menjadi kesukaan kita pada paltform tertentu, kita sebut saja misalnya piihan genre suara yang kita dengar melalui Soundcloud, menyebabkan kita menjadi bagian dari kolektivitas berdasarkan kesukaan tersebut. Kita tergabung dalam deretan orang-orang yang bahkan tidak kita kenal hanya karena kita berada pada lingkup kesukaan genre yang sama. Selain itu, tak jarang berbagai pilihan suara yang telah kita sukai atau yang kita ikuti menyebabkan rekomendasi-rekomendasi suara-suara lain yang semisal muncul pada laman Soundcloud kita.
Penampakan beranda Soundcloud awesome writer dan beberapa daftar suara murottal (bacaan Al Qur'an) lainnya yang direkomendasikan Soundcloud. |
Apa yang kita sukai dan apa yang kita ikuti tersebut menjadi jejak digital kita yang kemudian diarsipkan oleh misalnya Soundcloud. Berdasarkan jejak-jejak digital yang kita tinggalkan ini kerumunan khalayak dengan karakteristik tertentu terus diproduksi. Akumulasi ini pada akhirnya menjadi instrumen bagi industri periklanan untuk menuai laba dari khalayak yang customised (telah disesuaikan/ dikhususkan) (Couldry dan Hepp, 2017).
Namun sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kita yang dikerumunkan melalui perhitungan angka statistik ini bahkan tidak saling mengenal dengan individu lainnya. Sehingga, Couldry dan Hepp (2017) memasukan kolektivitas inklusi numerik ini dalam sub bab Kolektivitas tanpa Komunitisasi. Mengapa dapat disebut demikian? Karena konsep komunitisasi mensyaratkan adanya bentuk kolektivitas yang fixed (tetap) misalnya seperti kolektivitas RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga) tertentu. Mereka dalam hal ini memiliki shared meaningful yang terbentuk melalui proses yang panjang. Sementara, kolektivitas inklusi numerik ini sekadar menghimpun individu-individu berdasarkan kesamaan rasa dan selera terhadap sesuatu hal tanpa memperjuangkan proses pembentukan makna yang panjang di antara aktor-aktornya.
Imagined Communities (Kolektivitas Imajiner)
Istilah imagined communities sendiri pada asalnya merupakan gagasan yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Pada esensinya, Anderson ingin mengungkapkan bahwa kolektivitas dapat terbentuk bukan semata-mata karen akita berada pada lingkungan fisik yang sama. Bahkan kita yang jauh secara geografis pun mampu menjadi bagian dari kolektivitas tertentu, misalnya kebangsaan tertentu, afiliasi politik tertentu, dan agama tertentu.
Kalau meminjam contoh dari Mba Titut, dosen kami pengampu Mata Kuliah Media Digital dan Konstruksi Realita, yaitu orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri orang. Beliau saat itu menyebutkan bahwa ada ada orang-orang Indonesia di luar sana yang melanggan koran Kompas demi dapat merasakan "bahwa aku orang Indoensia", di mana secara fisis diri mereka memang tidak berada di Indonesia, tetapi melanggan koran Kompas ini menjadi simbol kebangsaan mereka (national we). Mba Titut kemudian juga menambahkan contoh tentang dirinya sendiri ketika dahulu mejadi mahasiswa di Australia. Mba Titut bercerita ketika ia suatu saat memilih untuk makan di satu rumah makan Padang yang pada dasarnya "...rasa masakannya ga enak, tapi karena di sana banyak orang Indonesia..." akhirnya menyebabkan Mba Titut rela menyambangi rumah makan tersebut ketika rinduya pada kampung halaman membuncah.
Sebagai contoh yang lain dari kolektivitas imajiner ini adalah perasaan kita terhadap orang lain karena basis agama yang sama. Awesome writer dan mungkin awesome readers pernah merasakan hal yang sama ketika melihat saudara-saudara kita di belahan bumi yang lain ini ditindas. Kita sebut saja muslimin di Palestina, Suriah, Yaman, Uyghur, Rohingya, Mali dan yang semisal. Kita pada dasarnya bukan bagian dari kebangsaan mereka, namun pada satu titik, karena kita memeluk agama yang sama, karena kita memiliki rasa kemanusiaan yang sama, akhirnya memunculkan perasaan ikut tertindas. Kita merasa menjadi satu tubuh dengan saudara-saudara kita tersebut.
Tangkapan layar dari akun Instagram Actforhumanity (Aksi Cepat Tanggap). Seorang anak dari Palestina yang memgang foto ayahnya, seorang jurnalis, yang telah tewas ditembak oleh Zionis. |
Pada substansinya, kolektivitas inklusi numerik dan kolektivitas imajiner merupakan konsep-konsep kolektivitas yang coba ditawarkan oleh Couldry dan Hepp (2017). Dua konsep ini mengilustrasikan bagaiamana kolektivitas kita hari ini tidak cukup memadai jika sekadar dipahami sebagai komunitisasi yang tetap (terbentuk karena shared meaningful dari berbagai aktor yang terlibat di dalamnya). Penawaran berbagai spektrum kolektivitas ini juga menjadi ilustrasi bagaiamana media memainkan peran dalam membentuk dan mengintesifkan figurasi-figurasi (interdependensi antara berbagai aktor atau individu) dalam dunia sosial kita (Elias, 1991).
0 comments