Buzzer: Pergeseran Tatanan Politis Indonesia
Ilustrasi konsep order (tatanan). Tumpukan atau tatanan batu bata pada pagar suatu gedung. |
Sementara itu, pada tulisan ini awesome writer ingin mencoba menjelaskan fenomena buzzer sebagai ilustrasi perubahan tatanan sosial kita dalam aspek politik. Apabila komunikasi yang dipersonalisasi dalam kancah perpolitikan era media digital dianggap sebagai wawasan yang sia-sia, Nielsen (2012) menganggap hal ini keliru. Nielsen (2012) memandang bahwa komunikasi atau kampanye secara personal masih relevan untuk dilakukan. Dalam kasus ini kampanye dapat melibatkan sekumpulan orang misalnya relawan, pekerja paruh waktu atau bahkan orang-orang bayaran. Orang-orang bayaran dalam gagasan Nielsen (2012) tersebut menurut awesome writer dapat kita bahasakan dengan istilah buzzer.
Buzzer (pendengung atau pelaku buzz) sebenarnya berkaitan erat dengan dunia marketing (pemasaran). Emanuel Rosen dalam O'Leary (2008: 22) menyatakan bahwa buzz merupakan muara dari word of mouth. Word of Mouth, seringkali disingkat sebagai WOM, merujuk pada komunikasi orang-ke-orang antara komunikator dan penerima yang menganggap pesan yang disampaikan sebagai informasi non-komersial. Subjek pesan ini dapat berupa merek, produk, atau layanan (Arndt, 1967; Luarn, Huang, Chiu, dan Chen, 2016). Kembali merujuk pada gagasan Rosen dalam O'Leary dan Sheehan (2008: 22), ia mendefinisikan buzz sebagai sejumlah komentar tentang produk atau perusahaan tertentu pada titik waktu tertentu. Gagasan Rosen ini menitik beratkan pada ‘komentar’ sebagai gagasan, pesan, atau opini yang disampaikan dari satu orang kepada orang lain (O'Leary dan Sheehan, 2008: 22).
Dewasa ini istilah buzzer telah bergeser dan begitu berkaitan erat dengan kontestasi politik terutama di Indonesia. Buzzer pada esensinya tetap berfungsi sebagai pendengung untuk melancarkan program pemasaran. Namun dalam konteks politik, buzzer dapat berguna untuk mendongkrak elektabilitas tokoh atau partai tertentu. Pada praktiknya, buzzer-buzzer politik biasanya berkicau dengan menggunakan tagar unik dan/ atau memanfaatkan jaringan dan aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp dan Telegram untuk menyebarkan konten.
Ilustrasi konsep order (tatanan). Tatanan kursi untuk mengilustrasikan perebutan kursi politis. |
Buzzer yang telah bertransformasi menjadi industri tak jarang menggelontorkan berbagai hoaks demi melancarkan aksi mereka. Lebih dari pada itu, warganet cenderung menyukai dan menerima konten yang sesuai dengan ideologi mereka. Sehingga, hal ini berimplikasi pada filter bubble (algoritma) yang ada di media sosial mereka untuk ikut serta mensukseskan kinerja para buzzer (Pariser, 2011). Keadaan ini pada gilirannya dikenal dengan istilah echo chamber. Alhasil, warga yang telah tumpul logikanya akibat fanatisme buta makin terjerembab pada aksi dan pemikiran politik yang dangkal.
Buzzer seakan tak mungkin lepas dari para aktor politik di negeri ini. Strategi kampanye politik menggunakan jasa buzzer ini seakan punya efek adiktif. Dengan demikian, bukan hal yang mengejutkan jika buzzer akhirnya dinilai memiliki prospek karir yang semakin cerah.
Keberadaan industri buzzer yang akhirnya melahirkan banyak diskursus. Sebagian menyatakan bahwa fenomena industri buzzer menjadi paradoks akan cita-cita pemerintah yang hendak memerangi hoaks. Sebagian menyarankan agar keberadaan mereka tersebut segera ditertibkan dalam regulasi yang pasti.
Secara substansial, fenomena buzzer dan bagaiamana hal ini telah mengubah tatanan politik di negeri ini, mengilustrasikan bahwa konstelasi politik dan pemerintahan kita telah begitu bergantung pada infrastruktur media. Demi mendongkrak elektabilitas diri dan/ atau partainya, melibatkan infrastruktur media adalah hal mustahil dilewatkan. Buzzer melalui kicauan dan pesan-pesan sensasional mereka seakan mampu menyentuh afiliasi politik dalam lingkung yang personal.
0 comments