Buzzer: Pergeseran Tatanan Politis Indonesia

by - 5:42:00 AM

Ilustrasi konsep order (tatanan). Tumpukan atau tatanan batu bata pada pagar suatu gedung.
Awesome readers, sulit untuk kita pungkiri bahwa media sosial telah banyak mengubah tatanan kehidupan sosial kita. Pada konteks ini, tatanan politik juga tak luput terkena dampaknya. Media sosial telah memungkinkan mobilisasi politik jangka pendek dan sekaligus mengintensifkan dinamika dan skandal yang ada di dalam perpolitikan itu sendiri (Couldry dan Hepp, 2017). Walaupun demikian, kesimpulan ini tidak cukup memadai untuk memahami bagaiamana penetrasi media yang mendalam ini telah mempengaruhi tatanan kehidupan sosial kita terutama dalam aspek politik.

Sementara itu, pada tulisan ini awesome writer ingin mencoba menjelaskan fenomena buzzer sebagai ilustrasi perubahan tatanan sosial kita dalam aspek politik. Apabila komunikasi yang dipersonalisasi dalam kancah perpolitikan era media digital dianggap sebagai wawasan yang sia-sia, Nielsen (2012) menganggap hal ini keliru. Nielsen (2012) memandang bahwa komunikasi atau kampanye secara personal masih relevan untuk dilakukan. Dalam kasus ini kampanye dapat melibatkan sekumpulan orang misalnya relawan, pekerja paruh waktu atau bahkan orang-orang bayaran. Orang-orang bayaran dalam gagasan Nielsen (2012) tersebut menurut awesome writer dapat kita bahasakan dengan istilah buzzer.

Buzzer (pendengung atau pelaku buzz) sebenarnya berkaitan erat dengan dunia marketing (pemasaran). Emanuel Rosen dalam O'Leary (2008: 22) menyatakan bahwa buzz merupakan muara dari word of mouth. Word of Mouth, seringkali disingkat sebagai WOM, merujuk pada komunikasi orang-ke-orang antara komunikator dan penerima yang menganggap pesan yang disampaikan sebagai informasi non-komersial. Subjek pesan ini dapat berupa merek, produk, atau layanan (Arndt, 1967; Luarn, Huang, Chiu, dan Chen, 2016). Kembali merujuk pada gagasan Rosen dalam O'Leary dan Sheehan (2008: 22), ia mendefinisikan buzz sebagai sejumlah komentar tentang produk atau perusahaan tertentu pada titik waktu tertentu. Gagasan Rosen ini menitik beratkan pada ‘komentar’ sebagai gagasan, pesan, atau opini yang disampaikan dari satu orang kepada orang lain (O'Leary dan Sheehan, 2008: 22).

Dewasa ini istilah buzzer telah bergeser dan begitu berkaitan erat dengan kontestasi politik terutama di Indonesia. Buzzer pada esensinya tetap berfungsi sebagai pendengung untuk melancarkan program pemasaran. Namun dalam konteks politik, buzzer dapat berguna untuk mendongkrak elektabilitas tokoh atau partai tertentu. Pada praktiknya, buzzer-buzzer politik biasanya berkicau dengan menggunakan tagar unik dan/ atau memanfaatkan jaringan dan aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp dan Telegram untuk menyebarkan konten.

Ilustrasi konsep order (tatanan). Tatanan kursi untuk mengilustrasikan perebutan kursi politis.
Buzzer politik mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012. Sehingga buzzer dan kontestasi politik di Indonesia bukanlah hal yang asing lagi. Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh CPIG (2017) buzzer memiliki kekuatan untuk mengamplifikasikan pesan. Kekuatan mereka ini dianggap mampu mendiseminasi isu-isu politik dengan cepat. Dengan demikian, bukan hal yang mengherankan jika keberadaan industri buzzer bersemi bagai jamur di musim hujan.

Buzzer yang telah bertransformasi menjadi industri tak jarang menggelontorkan berbagai hoaks demi melancarkan aksi mereka. Lebih dari pada itu, warganet cenderung menyukai dan menerima konten yang sesuai dengan ideologi mereka. Sehingga, hal ini berimplikasi pada filter bubble (algoritma) yang ada di media sosial mereka untuk ikut serta mensukseskan kinerja para buzzer (Pariser, 2011). Keadaan ini pada gilirannya dikenal dengan istilah echo chamber. Alhasil, warga yang telah tumpul logikanya akibat fanatisme buta makin terjerembab pada aksi dan pemikiran politik yang dangkal.

Buzzer seakan tak mungkin lepas dari para aktor politik di negeri ini. Strategi kampanye politik menggunakan jasa buzzer ini seakan punya efek adiktif. Dengan demikian, bukan hal yang mengejutkan jika buzzer akhirnya dinilai memiliki prospek karir yang semakin cerah.

Keberadaan industri buzzer yang akhirnya melahirkan banyak diskursus. Sebagian menyatakan bahwa fenomena industri buzzer menjadi paradoks akan cita-cita pemerintah yang hendak memerangi hoaks. Sebagian menyarankan agar keberadaan mereka tersebut segera ditertibkan dalam regulasi yang pasti.

Secara substansial, fenomena buzzer dan bagaiamana hal ini telah mengubah tatanan politik di negeri ini, mengilustrasikan bahwa konstelasi politik dan pemerintahan kita telah begitu bergantung pada infrastruktur media. Demi mendongkrak elektabilitas diri dan/ atau partainya, melibatkan infrastruktur media adalah hal mustahil dilewatkan. Buzzer melalui kicauan dan pesan-pesan sensasional mereka seakan mampu menyentuh afiliasi politik dalam lingkung yang personal.

You May Also Like

0 comments