Collectivity in the Deep Mediatized World

by - 10:25:00 AM


Ilustrasi kolektivitas, para pengendara ojek online yang sedang rehat di bawah jembatan penyebrangan.
Media dan teknologi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Bagaimana kita memaknai diri kita dan orang lain; ruang; waktu; dan bahkan bagaimana kita memaknai kumpulan dari setiap individu (kolektivitas) juga tak pernah sama lagi. Mediatisasi yang mendalam telah mengubah konsepsi kolektivitas. Jika dahulu kita menganggap kolektivitas sebagai kumpulan individu-individu, kerumunan orang, masyarakat, atau komunitas tertentu, maka digitalisasi telah memaksa kita untuk menganalisis konsep kolektivitas dengan lebih rinci (Couldry dan Hepp, 2017)

Lantas, apa sebenarnya konsep kolektivitas itu ya awesome readers? Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas merupakan suatu figurasi dari individu-individu yang saling berbagi afiliasi dengan penuh makna di mana afiliasi ini kemudian menjadi basis orientasi dan aksi yang mutual. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kolektivitas merupakan jalinan dari satu individu dengan individu lainnya di mana di dalam jalinan tersbeut individu-individu tersebut saling berbagi makna. Jalinan individu dan makna yang mereka bagi bersama itu lantas dapat menjadi dasar dalam mereka berperilaku.

Couldry dan Hepp dalam buku mereka The Mediated Construction of Reality melanjutkan bahwa pembentukan afiliasi penuh makna ini dapat mewujud dalam beragam rupa. Afiliasi ini dapat terbentuk melalui perasaan “kita bersama” sebagaimana terejawantahkan dalam komunikasi tradisional tatap muka (Knoblauch, 2008 dalam Couldry dan Hepp, 2017). Afiliasi ini dapat pula terbentuk melalui situasi yang terorganisasi bersama semisal smart mobs (Rheingold, 2003). Kolektivitas melalui inklusi numerik juga dapat menjadi manifestasi lain dari pembentukan afiliasi ini (Passoth, dkk., 2014)

Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus.
Dalam menjelaskan konsep kolektivitas, Couldry dan Hepp (2017) lantas membawakan istilah ‘communitization’ (Vergemeinschaftung) milik Weber. Istilah ini pada esensinya merupakan istilah yang menggambarkan perasaan subjektif (perasaan saling memiliki di antara mereka yang saling terlibat) (Hepp, 2015)Couldry dan Hepp (2017) kemudian menawarkan beberpa spektrum pengetahuan dalam memahami kolektivitas di era mediatisasi yang mendalam.

Salah satu spektrum yang merek atawarkan adalah dengan menelisik "bagaiamana kolektivitas tersebut terbentuk dalam kelompok." Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas di era mediatisasi dapat terbentuk melalui dua cara, yakni melalui media-based collectivity (kolektivitas berbasis media) dan mediatized collectivity (kolektivitas yang difasilitasi media)

Media-based collectivity merupakan kolektivitas dimana media bersifat konstitutif. Dengan kata lain, kolektivitas tersebut tak dapat terbentuk kecuali dengan eksistensi media. Media dalam hal ini telah ada terlebih dahulu sebelum suatu kolektivitas terbentuk. Kolektivitas selanjutnya terbentuk setelah media menyediakan konten dan/ atau ruang.

Sebagai contoh, media-based collectivity adalah Google Local Guide salah satu fitur di dalam Google Maps. Google Local Guide merupakan platform yang menyediakan ruang bagi para pengguna Google Maps untuk dapat berkontribusi sebagai relawan atau kontributor. Mereka yang tergabung dan berkontribusi pada platform ini pada gilirannya terbentuk sebagai suatu komunitas. Para kontributor biasanya menulis beragam ulasan, menngunggah foto dan video, menambahkan atau menyunting tempat tertentu, bahkan mereka dapat saling tanya jawab tentang sutau tempat. 

Akun Google Local Guide milik awesome writer.
Google Local Guide memungkinkan suatu komunitas terbentuk karena konten yang tersedia pada platform Google Maps. Mereka ini tidak mungkin akan mewujud kecuali dengan keberadaan fasilitas Google Maps. Google telah banyak berupaya agar kolektivitas di salah satu platform-nya ini terus dapat digunakan oleh warganet. Google sering kali tak segan untuk memberikan penghargaan semisal voucher belanja, hotel, atau bahkan mengundang para local guide untuk ikut dalam event-event besar Google Maps.

Salah satu voucher yang pernah awesome writer dapatkan karena berkontribusi dalam Google Local Guide.

Salah satu undangan yang pernah awesome writer dapatkan karena telah menduduki peringkat atau level tertentu sebagai local guide.
Pada satu titik, jika kita berbincang tentang Google Local Guide dan platform lain yang semisal, maka para kontributor Google Local Guide ini seperti mengilustrasikan online worker yang bekerja "secara cuma-cuma". Walaupun memang kita diberi penghargaan, tapi penghargaan yang diberikan Google tidaklah sebanding dengan keuntungan yang Google dapatkan dari berbagai kontribusi yang kita lakukan. Dengan kata lain, menurut awesome writer kita semisal mendermakan bantuan untuk membangun empire bisnis Google.

Nah sekarang kita bergeser ya... pada spektrum lainya, yaitu mediatized collectivitymedia tidaklah bersifat kontitutif. Artinya, kolektivitas telah ada sebelum media ada. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kolektivitas terpelihara melalui keberadaan media (Couldry dan Hepp, 2017). Dalam konteks mediatized collectivity yang Indonesia banget dapat kita contohkan dengan menjamurnya grup Whatsapp keluarga. Awesome writer akan mengambil contoh dari salah satu teman awesome writer di kampus, kita sebut saja dia Eden. 

Eden sedang membuka salah satu grup Whatspp keluarganya.
Eden adalah seorang mahasiswi yang merantau jauh dari sebrang Pulau Jawa. Eden menuturkan bahwa ia dan keluarganya terikat dalam grup Whatsapp keluarga demi menjaga kerekatan di antara mereka.

Eden berujar pada awesome writer bahwa keluarganya sebenarnya memiliki dua grup Whatsapp, yaitu "The Moehadjir" dan "Mangun". The Moehadjir merupakan grup dari keluarga besar ayahnya. Sementara, Mangun adalah grup dari pihak ibunya dan terdiri dari kolektivitas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan  The Moehadjir. 

The Moehadjir, salah satu grup Whatspp keluarga milik Eden.
Menurut Eden, keluarganya merupakan keluarga yang sangat kolektif. Dalam hal ini, kedua grup tersebut menjadi media yang dapat mempererat tali silahturahim dan kolektifitas di antara anggota-anggota keluarganya. Ia mengatakan bahwa anggota keluarganya banyak terpencar di berbagai daerah, sehingga keberadaan grup tersebut sangat membantu merekatkan kedetakan di antara mereka. Selain itu, grup tersebut juga dapat menjadi media koordinasi jika ada di antara mereka yang hendak mengunjungi kerabat mereka yang akan menikah (baca: kondangan).

Grup whatsapp keluarga milik Eden ini mengilustrasikan bagaimana kolektivitas dirawat atau terpupuk (fostered) melalui keberadaan media. Grup keluarga Eden ini juga menjadi gambaran tentang identitas kelompok yang sama dan terdistribusi dari kolektivisme berjaringan sebagaimana yang disebut oleh Nancy Baym (2015). 

Pada esensinya, kolektivitas di era mediatisasi seperti sekarang ini tidak cukup dipandang sebagai suatu konsep yang mewakili kumpulan individu-individu, kerumunan orang, atau sekadar masyarakat tertentu di daerah tertentu. Di luar dari dua contoh yang telah awesome writer tuliskan, Couldry dan Hepp bahkan banyak memberikan contoh lain bagaimana kolektivitas dewasa ini tidak sepatutnya dipandang dalam cara sesederhana itu. Kita sebut saja imagined communities dan koletivitas inklusi numerik yang akan menghantarkan kita pada spektrum lain dari konsep kolektivitas.

Dengan demikian, ada banyak faktor yang patut kita pertimbangkan dalam melabeli suatu kerumunan sebagai kolektivitas tertentu atau bukan, misalnya saja kerangka relevansi (sebagaimana yang mendasari media-based collectivity) atau  konteks tertentu lainnya yang mendasari suatu kolektivitas dapat terbentuk. Sebagai tambahan, kita juga harus memperhatikan bagaimana dengan kolektivitas-kolektivitas yang sejatinya mungkin saja bukan bentuk komunitisasi (comunitization).

You May Also Like

0 comments