Privasi dan Praktik Media Kita

by - 11:48:00 PM


Bagaimanapun media telah berkembang menjadi bagian integral dalam praktik keseharian kita (Couldry, 2012). Dalam hal ini, internet dan mesin pencari (search engine) dewasa ini telah menjadi sumber dan intrumen utama dalam menggali informasi. Menurut Byung-Chul (2017) internet dengan sedemikian rupa memang telah menjadi candu bagi kita.  Dalam konteks penggunaan mesin pencari sebagai salah satu praktik media kita, kita seolah tak punya pilihan selain menggunakan mesin pencari. 

Dahulu kita terbiasa untuk menggali informasi melalui buku, surat kabar, atau melalui bantuan para pustakawan. Kini, mesin pencari (search engine) seperti Google telah mengubah praktik kita dalam mencari informasi tertentu (Bódogh, 2011). Ini sebagaimana Matthew Hindman (2009) ungkapkan bahwa kita dapat menemukan informasi yang kita inginkan melalui dua cara, yaitu dengan menelusuri kembali situs yang sebelumnya pernah kita tahu atau melalui mesin pencari. 

Sementara, perlu kita pahami awesome readers bahwa tanpa sadar kita telah keliru. Mesin pencari yang memungkinkan kita menemukan hampir segala hal telah membuat kita beranggapan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak teridentifikasi (Bódogh, 2011). Lantas, kita terus menerus mencari dan mencari tanpa peduli bahwa selama ini search queries (permitaan pencarian) kita telah diarsipkan dan dimonetisasi (Bódogh, 2011Byung-Chul, 2017).

Byung-Chul (2017) memandang keadaan ini sebagai ambivalensi dari konsep kebebasan. Ia kemudian menuliskan bahwa internet sejatinya menghantarkan kita pada penjajahan model baru. Kita dengan suka rela menyerahkan data-data pribadi kita bahkan tanpa berpikir panjang. Data-data tersebut pada gilirannya menjadi kapital bagi korporasi-korporasi raksasa atau setidaknya mengkuantifikasi kita sebagai konsumen iklan-iklan yang ter-costomised

Di sisi lain, mesin pencari sebagai praktik media kita menghantarkan kita pada problema tentang privasi. Sebelum membahas privasi dalam praktik media kita dengan lebih lanjut, maka pertama-tama kita telaah terlebih dahulu data apa saja yang selama ini disimpan dan diarsipkan mesin pencari. Bódogh (2011) menuliskan bahwa log pencarian berisi data seperti alamat Protokol Internet (IP) dari perangkat pengguna, jenis dan bahasa browser (penjelajah) yang digunakan, tanggal dan waktu permintaan, ID cookie yang diatur dalam penjelajah pengguna serta pencarian permintaan itu sendiri.

Data-data tersebut memang tidak secara langsung membuat seorang pengguna dapat teridentifikasi. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa perusahaan-perusahaan pengelola mesin pencari semisal Google ini tidak menyediakan layanan secara cuma-cuma. Mereka kan bukan yayasan amal.  Mereka bekerja untuk memperoleh profit. Walaupun seolah mereka bukan mencari keuntungan melalui kita, penggunanya, mereka pada dasarnya bekerjasama dengan pihak lain yang mampu mendatangkan nilai ekonomi, pengiklan.

Dengan demikian, pengelola mesin pencari menyediakan ruang bagi pengiklan. Mereka menyediakan tautan agar dapat diklik dan mendatangkan pendapatan. Dalam praktik ini, pengelola mesin pencari menggunakan data kita agar pengiklan dapat menembakkan iklannya pada ceruk pasar yang tepat (Bódogh, 2011).  Fenomena ini kemudian menjadi ilustrasi dari gagasan Couldry (2012) bahwa faktor ekonomi (dan politik) menjadi faktor yang prominen dalam melengkapi pemahaman kita terhadap media.

Pada substansinya, media telah menjadi bagian yang hari ini, dapat kita katakan, tidak terpisahkan. Sebagaimana yang awesome writer bawakan, mencari informasi melalui mesin pencari smeisal Google menjadi hal yang sangat kita gandrungi. Kegiatan ini praktis dan efisien. Sementara kita tak sadar bahwa praktik-praktik kita rupanya telah menjadi data ekonomis bagi para pengelola mesin pencari. Dengan demikian, praktik-praktik medi akita ini pada gilirannya menimbulkan banyak ketegangan dan kerumitan yang perlu kita atasi, yah setidaknya dengan membekali diri dengan seperangkat pengetahuan semisal literasi digital.


You May Also Like

0 comments