Self Disclosure: Mediatized Rituals

by - 6:29:00 AM

Bazarova dan Yoon Hyung (2014) mengungkapkan bahwa media sosial telah membuka kemungkinan baru untuk berbagi informasi pribadi dengan jaringan online. Jutaan orang secara rutin mengungkapkan informasi pribadi di situs jejaring sosial. Dari mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi yang mendalam hingga mendokumentasikan detail kehidupan sehari-hari. 

Ini menjadi gambaran keterbukaan informasi publik yang mengaburkan batas-batas antara publisitas dan privasi. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan tentang pengungkapan diri dan kontrol informasi di media sosial. Selain itu, kondisi ini juga menjadi ilustrasi akan ritual yang termediatisi (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Ritual yang termediasi? Hmmm... awesome reader mungkin bingung bagaimana maksudnya pengungkapan diri kita di media sosial dapat dikatan sebagai ritual dan terlebih ritual yang termediatisi? 

Ritual yang termediasi yang dimaksudkan Couldry dalam hal ini bukan mengacu pada konsep ritual konvensional yang selama ini kita pahami. Ritual bukanlah ritus (praktik-praktik keagamaan tertentu) atau pun tindakan seremonial tertentu. Ritual pada konteks ini ialah tindakan tertentu kita yang memungkinkan media menjadi pusat dalam tindakan tersebut (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Sementara itu, pengungkapan diri ialah tindakan mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain (Jourard, 1971). Ini adalah tindakan yang disengaja yang biasanya dikomunikasikan melalui perilaku verbal yang menggambarkan orang, pengalamannya, dan perasaan (Chelune, 1975). Keputusan pengungkapan diri biasanya bersifat dialektis (Petronio, 2002). Pengungkapan diri pada saat yang sama menyebabkan kita seolah tarik menarik antara membuka atau menutup informasi tertentu, mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi tertentu, dan dalam hal ini ketegangan manajemen personal dan publik terjadi (Altman, 1975; Westin, 1967)

Menurut Petronio (2002) setidaknya terdapat enam hal yang mendorong kita membagikan informasi kita kepada orang lain, yaitu untuk tujuan membangun intimasi, meringankan beban hidup, menggapai kontrol sosial, menikmati kebebasan berekspresi, untuk bersosialisasi atau berinteraksi, dan untuk memvalidasi perspektifnya. Sementara itu, Tamir dan Mitchell (2012) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri biasanya dipicu oleh kebutuhan untuk keterhubungan sosial dan penghargaan.
Ilustrasi pengungkapan diri pada laman media sosial Facebook miliki seorang remaja.

Namun demikian, pengungkapan diri perlu menjadi pertimbangan serius terutama setelah pengungkapan diri kini menjadi ritual yang termediatisi. Pengungkapan diri yang termediatisasi tak jarang  membawa risiko kerentanan dan kehilangan informasi karena penyingkapan yang berlebihan pada orang lain (Altman, 1975) terutama di media sosial.

Di sisi lain, pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga menjadi gambaran bagi kita bahwa sesuangguhnya apa yang kita ungkapkan pada media sosial kita bukanlah kita yang seutuhnya. Kita tidak mungkin mengungkapkan secara terperinci tentang diri kita di media sosial. Sementara itu, kita mengungkapkan hal yang membuat orang lain mempersepsikan diri kita sebagaimana yang kita inginkan: sebagai ornag yang pedulikah, religiuskan, humoriskan, atau yang semisal. Pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga mengilustrasikan bagaimana media berkuasa untuk menggeser konsep privasi menjadi kabur.

You May Also Like

0 comments