Media Injustice (Ketimpangan Media)

by - 7:51:00 AM

Ilustrasi media dalam praktik kehidupan kita sehari-hari. Seorang mahasiswi sedang memasukan password dan username pada akun Instagramnya.
Bagaimanapun kehidupan kita dewasa ini terlalu sulit untuk lolos dari eksistensi media. Couldry (2012) menuliskan bahwa betapapun fakirnya kehidupan kita, media tetap hadir secara simultan bahkan pada poros terkecil praktik-praktik kehidupan kita sehari-hari hingga mengekstensi konstelasi perpolitikan negeri.

Namun, kita perlu menyadari bahwa media sebagai sebuah institusi mustahil untuk bersikap adil pada apa yang mereka representasikan. Kekuatan simbolik yang media miliki pada faktanya hanya mampu berpihak pada sebagian kelompok, entah mereka pemilik modal media, aktor-aktor politik, atau bahkan persona-persona tertentu. Keadaan ini pada gilirannya menyebabkan praktik-praktik media cenderung timpang.

Couldry (2012) menuliskan terdapat empat bentuk ketimpangan media (media injustice). Ketimpangan media yang pertama terjadi ketika orang tertentu dirugikan oleh media dan tidak memiliki cara untuk menanggulanginya. Ketimpangan ini pada dasarnya dapat kita serupakan sebagaimana seseorang dapat melakukan kerusakan moral antara satu sama lain dengan ucapan mereka (O’Neill, 2002)

Selanjutnya, ketimpangan jenis kedua yang media lakukan ialah ketimpangan dalam hal rekognisi (Honneth, 2007). Media dalam hal ini tidak memberikan rekognisi yang adil pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya bagaimana televisi nasional kita tidak memiliki porsi yang adil terhadap keberagaman adat dan budaya di negeri ini. Televisi Indonesia tak ubahnya televisi "rasa" Jakarta. Padahal menurut Couldry (2012) media sepatutnya menyediakan ruang agar kelompok-kelompok tertentu agar dapat mengaktuaisasikan diri mereka.

Ketimpangan ketiga muncul ketika seorang individu atau kelompok tertentu secara tidak langusng terhalang untuk menyuarakan gagasan mereka sebab keterbatasan mereka terhadap akses kapital simbolik media. Kapital simbolik media pada dasarnya memang tersedia secara terbatas dan tidak setara. Namun ketidaksetaraan bukan berarti langsung mengkonotasikan ketimpangan. Ketimpangan terjadi manakala ketidaksetaraan memenggal kemampuan individu atau kelompok tertentu.

Sementara itu, ketimpangan keempat yang media lakukan ialah manakala ruang wacana publik  potensial terisolasi sehingga bukan hanya invidu tertentu melainkan individu, kelompok, dan gerakan manapun terhalang dari rekognisi. Ketimpangan jenis ini pada gilirannya akan bermuara pada pertanyaan yang lebih luas terkait politik.

Pada unggahan ini sendiri awesome writer melokuskan perhatian pada jenis ketimpangan pertama. Kasus Kopi Sianida dalam hal ini menjadi menarik untuk diangkat sebagai contoh sebagaimana beberapa tahun lalu kasus ini begitu riuh akibat sorotan media.

Wayan Mirna dan kopi bersinida
Sari (2016) menuliskan kaleidoskop kasus ini di mana perjalanan kasus bermula ketika empat orang yang berteman sejak kuliah di Billy Blue College, Australia, berencana untuk bertemu di Indonesia. Mereka adalah Mirna, Jessica, Hani Boon Juwita, dan Vera. Pertemuan berlangsung pada 6 Januari 2016 lalu di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Jessica telah lebih dahulu tiba di kafe, menunggu teman-temannya di meja nomor 54 lantas memesan minuman. Kala itu, Jessica memesankan es kopi vietnam untuk Mirna. Mirna yang beberapa saat kemudian muncul menenggak kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian Mirna justru kejang lalu tak sadarkan diri. Dia diduga meninggal karena keracunan.

Jessica dan Mirna
Singkat cerita, Jessica akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini segera menyita perhatian masyarakat Indoensia. Berbagai media baik media konvensional maupun media digital ramai menyoroti kasus Kopi Sianida ini. Persidangan yang diadakan selama berjam-jam disiarkan secara nasional. Pakar-pakar dihadirkan untuk mengomentari jalannya sidang. Pakar telematika dan psikologi berkali-kali mampir menghiasi layar kaca. Media secara umum punya nada pemberitaan yang serupa yang menyiratkan bahwa Jessica memang bisa jadi dalang dibalik tewasnya Mirna.

Hal yang perlu kita kaji adalah bagaimana media dapat mempengaruhi jalannya persidangan (trial by the press). Sebagaimana media memiliki kekuatan simbolik, maka kekuatan simbolik tersebut rentan menimbulkan konstruksi persepsi yang keliru di benak kita. Media seakan mendorong kita untuk punya pendirian yang sama dengan apa yang media agendakan. Apa yang media anggap benar mendesak kita untuk berpikir dan bertindak yang sama. Padahal, kita bisa jadi butuh wacana alternatif agar mampu memahami kasus dengan lebih menyeluruh.

Kasus Kopi Sianida memang penuh misteri terbukti dari rekaman CCTV yang memang secara eksplisit tidak memperlihatkan Jessica menaruh racun pada kopi Mirna (Pratiwi, 2018). Namun demikian, dalam penelitian Siregar (2017) ditemukan 56 pemberitaan media online yang menghakimi Jessica sebagai pembunuh Mirna. Bahkan, pemberitaan tersebut menyimpulkan alasan dan motif yang dilakukakan Jessica. Siregar (2017) menyimpulkan bahwa trial by the press dalam kasus Kopi Sianida ini terjadi karena: (1) pers Libertarian,  (2) faktor politik dalam berita, (3) kepentingan ekonomi, (4) mengutamakan dan minim verifikasi, (5) partisipasi masyarakat rendah, dan (6) minimnya kualitas wartawan. Media dalam kasus ini akhirnya menciderai Jessica sebagaimana seseorang dapat melukai orang lain dengan lisan mereka, bahkan lebih dari itu. 

Jessica muncul dalam pemberitaan media.
Bercermin pada ketimpangan ini, maka Couldry (2012) membawa kita pada sebuah diskusi menarik tentang etika. Diskusi ini sekaligus menjadi penawaran normatif dari Couldry (2012). Berujung pada etika, Couldry (2012) ingin agar kita menilik kembali bagiamana media sebagai praktik; ritual; bahkan sebagai hidden injuries (luka tersembunyi) dalam kehidupan kita sehari-hari mempengaruhi kita dalam mengkonstruksi dunia sosial kita. Oleh karena itu, pada bab terakhir bukunya, Couldry (2012) ingin agar kita merenungi 'bagaimana sepatutnya kita hidup dengan bajik bersama media dan bagaimana sesungguhnya peran media dalam kehidupan kolektif kita?' 

Couldry (2012) lantas menawarkan bahwa kebajikan dalam hidup berdampingan dengan media dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni accuracy, sincerity dan care (akurasi, ketulusan, dan perhatian). Akurasi pada substansinya ialah tentang melakukan apa yang diperlukan demi mencapai kebenaran dalam pernyataan tertentu. Ketulusan merupakan kecenderungan untuk mengatakan apa yang sebenarnya kita yakini. Sedangkan, perhatian berhubungan dengan konektivitas kita yang hari ini telah berskala global. Perhatian pada esensinya adalah bagaiamana berbagai hal yang kita sematkan dalam jaringan (network) misalnya teks atau pun gambar tidak membahayakan atau menciderai orang lain.

"Teknologi membentuk ulang lansekap kehidupan emosional kita, tetapi apakah teknologi menawarkan kita kehidupan yang ingin kita tuju?" (Sherry Turkle)



You May Also Like

0 comments