Bagaimana Kita Hidup dengan Media: Echo Chamber dalam Pilpres 2019?

by - 9:03:00 AM

Meriahnya bendera Parpol yang berjajar di depan Mall Pejaten Village.
Awesome readers, bagaimana pendapat kalian tentang Pilpres 2019?" Hmmm... awesome writer yakin pasti akan ada beragam pendapat yang mencuat tentang kontestasi politik yang akan segera dihelat di negeri ini.

Bagi awesome writer, bicara politik itu bukan hal yang menyenangkan sejujurnya. Politik dalam konteks ini tentu saja adalah politik yang semisal dengan perhelatan pada 17 April 2019 itu. Well, kalau boleh jujur, dahulu sekali awesome writer sempat terjun ke dunia politik 'kecil-kecilan' atau kata kakak tingkat dulu istilahnya sebagai "minatur politik Indonesia." Wah, dahsyat yah...  Hmmm...

Pada kala itu, awesome writer sempat mencicipi bagaimana rasanya jadi KPU ala-ala di mana pada saat yang sama awesome writer berada pada poisisi yang mendukung salah satu Gubernur BEM FISIP. Singkat cerita, keterlibatan awesome writer pada perpolitikan kampus ini rupanya membawa dampak yang kurang baik bagi awesome writer. Awesome writer tanpa sadar pernah menyudutkan seorang teman untuk ikut serta dan memilih paslon yang awesome writer usung.

Namun di sisi lain, awesome writer sempat merasakan kehampaan bagaimana fakultas dan hampir seluruh mahasiswa seisi kampus terbagi dalam dua kubu. Kala itu terdapat dua kubu ekstranal kampus yang sangat dominan kancah perpolitikan. Awesome writer merasa heran dan tak habis pikir akan ke-terpecah bealah-an tersebut hanya karena hendak memilih sepasang manusia.

Hmmm, kisah di atas awesome writer ungkapkan sebagai sebuah bentuk refleksi diri. Setelah keterlibatan tersebut awesome writer bergulat dengan banyak pertanyaan dan kemudian tiba pada suautu keputusan, yaitu untuk hijrah.

Nah, lantas apa kaitannya kisah di atas dengan artikel awesome writer kali ini? Awesome readers tentu sudah bisa menebak dan menemukan keterkaitannya. Kisah di atas hanya secuil kisah yang bisa jadi tidak ada apa-apnya jika dibandingkan dengan kondisi perpolitikan yang nyata terjadi di negeri ini.

Berbincang tentang Pilpres 2019, maka kita tidak akan asing lagi dengan polarisai masyarakat menjadi dua kubu, yakni cebong dan kampret. Istilah cebong dan kampret mengemuka dan bermula dari media sosial. Cebong merupakan istilah yag disematkan pada para pendukung capres dan cawapres nomor urut 1. Sedangkan, kampret adalah istilah bagi para pendukung capres dan cawapres nomor urut 2.


Munculnya dua istilah ini mencerminakna bagaimana media menjadi kanal untuk mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan dukungan politik mereka. Dua isitilah ini menjadi bentuk identifikasi seorang individu pada kelompk atau ideologi tertentu. Fenomena ini merefeleksikan apa yang disebut Couldry dan Hepp (2017) sebagai jaringan. Jaringan merupakan metafora struktural yang menggambarkan relasi antar manusia dalam entitas sosial tertentu (kelompok, keluarga, dan dalam hal ini afiliasi politik).

Couldry dan Hepp (2017 melalui istilah jaringan ini ingin mengungkapkan bagaiamna kelompok-kelompok sosial itu terjadi disebabkan berbagai macam konstruksi. Sehingga, dunia sosial, mereka katakan sebagai sesuatu hal yang tidak pernah statis. Dalam hal ini media menjadi alat yang merubah konstelasi yang terjadi dalam masyarakat (Baym, 2015 dalam Couldry dan Hepp, 2017).  Walaupun demikian, istilah jaringan ini belum cukup memadai untuk menjabarkan dinamika masyarakat yang ada di dunia sosial sana. Oleh karenanya, Couldry dan Hepp (2017) kemudian menawarkan istilah figurations (figurasi) untuk menjembatani jalinan antara individu, media, dan pemaknaan sosial mereka.

Selanjutnya, kembali pada dinamika antara cebong dan kampret terdapat pernyaataan menarik dari Burhanudin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.

Tapi tunggu dulu, apakah benar fenomena ini termasuk ke dalam echo chamber? Pada derajat tertentu mungkin memang terlihat demikian, namun menyatakan kondisi masyarakat yang terpolarisasi seperti sekarang ini dengan melekatkan istilah echo chamber, kita butuh penelitian lebih lanjut setidaknya seperti penelitian Garret (2009).

Jika menilik penelitian tersebut, maka dapat kita katakan bahwa betul memang masyarakat cenderung memilih informasi yang menguatkan ideologi yang mereka miliki. Sebagai contoh, kubu cebong atau kampret hanya akan membaca atau mengonsumsi informasi yang menguatkan ideologi politik mereka masing-masing. Namun demikian, kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa di antara mereka akan ada oranag-orang yang tidak terlalu kaku lantas mencari tahu informasi yang bersebrangan dengan ideologi mereka. Dalam tataran ini, mereka yang berbeda kubu namun terbuka untuk membaca informasi dari kubu sebrang pada dasarnya sedang melakukan apa itu yang disbeut sebagai selective exposure.

Selanjutnya, kalaulah kita yakin jika keadaan ini tidak lebih tepat kecuali dikatakan sebagai echo chamber, maka bagaimana seharusnya kita? Menurut Panke dan Stephens (2018) literasi digital dapat menjadi solusi agar kita lebih cerdas dalam 'membaca' informasi, terutama informasi politik.

You May Also Like

0 comments