Alhamdulillah: Me vs Supir Taksi
Credit: Edoardo Busti on Unsplash |
Jam di dinding sudah mendekati pukul 11, tetapi aku masih saja terasuk dalam panasnya kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Aku dengar kali ini sidang akan menghadirkan saksi ahli yang mengungkap catatan kriminal Jesica Kumala Wongso di Australia dulu. But wait, oh no!... Aku harus bersegera dan bergegas keluar karena aku harus mengejar idamanku!
Aku menerjang sneakers andalanku dan segera mengenakannya. Kunci pintu, buka gerbang, kunci gerbang, dan go...! Kira-kira aku harus menempuh perjalanan dengan kaki paling kece yang Allah ciptakan ini selama 7 menit. Ini sudah ditambah dengan menaiki jembatan penyebrangan. Sebelum detik-detik menuju jembatan penyebrangan, aku kira tak ada salahnya untuk membeli kopi Goodday.
Kini kaki kece ini siap meluncur ke setiap anak tangga jembatan penyebrangan hingga kemudian ia berakhir kembali di bumi. Baiklah, selanjutnya proses menunggu idamanku, tak lain dan tak bukan ia adalah kopaja #upsMaafMengecewakanEkspektasi.
Aku menunggu dengan bertemankan sebotol Goodday Mochachino dingin, lima menit berselang, sepuluh menit telah berlalu, hingga dua puluh menit menanti sang idaman, ia tak kunjung datang menjemputku. Bahkan, Goodday yang rencannya akan aku minum dingin-dingin di dalam kopaja, kini telah membersamai suhu di jalan raya yang menghangatkan. Ohhh... betapa...
Tanpa pikir panjang lagi, aku lekas berjalan menuju Halte Busway Mampang Prapatan. Singkat cerita, setalah tapat berada di depan lorong menuju automatic gate, aku baru sadar kalaulah tap cash milikku masih bermimpi indah dalam tas laptop. Hiyaaa
Aku tidak punya pilihan, waktu kian mencekik kesempatan berkendara dengan trasnportasi massal biasa. Baiklah, aku membulatkan tekad, aku menuruni anak tangga halte lalu bersiap untuk kembali berjalan, lagi, menuju perempatan Jalan Kapten Tendean ke arah Pancoran. Terpaksa, aku akhirnya berkendera dengan taksi ke tempat tujuan.
Fiuuuh... peluh rasanya terus menari-nari di sekujur tubuh. Aku sampai khawatir dengan peluh yang berderai-derai ini apakah akan menimbulkan bau semerbak yang aku saja ogah menciumnya? Alhamdulillah, AC taksi membuatku semakin sejuk. Yah, kebahagian di tengah kegentingan, haha!
Taksi terus melaju, ia terus berjalan dengan kecepatan yang tidak cepat, juga tidak lambat, melewati berbagai jalanan dan kendaraan lain. "Jadi, kita mau lewat Asem Baris ya Neng? Itu yang di deket stasiun ya Neng?", tanya sang supir taksi padaku. "Oh iya pak...!", jawabku singkat.
Beberapa menit berselang dalam kesejukan AC taksi, keheningan kembali pecah dengan pertanyaan ringan sang supir padaku, "Abis pulang sekolah Neng?". Kali ini aku menjawab sang supir benar-benar di luar konteks, "Engga Pak mau ke kajian." #payah
Percakapan mini kami terus berlanjut, "Wah alhamdulillah dong Neng!", timpal sang supir taksi setelah mendengar jawabanku yang tidak nyambung. Tetapi, tiba-tiba hati ini tersentak, ups... bahkan aku ini begitu tak bersyukur ya! Lihatlah supir taksi yang sederhana ini saja begitu ringan lisannya untuk mengucap Alhamdulillah atas nikmat hidayah yang membuatku mau datang ke kajian. Hemmm... jadi meleleh...
"Iya... Pak alhamdulillah...", aku membalas komentar supir taksi dengan malu-malu. Beberapa saat kemudian berbagai perasaan campur aduk mnyeruak. Betapa Allah selalu mampu untuk mengajarkan apapun pada kita, salah satunya untuk bersyukur, bahkan melalui hal-hal yang kita anggap sepele.
Aku yakin untuk mengucapkan kalimat alhamdulillah bagi lisan kitapun butuh hidayah, teman-teman. Maka, apalah pula yang kita sombongkan sebagai manusia? Bukankah setiap kebaikan yang ada pada kita itu tidak lain hanya lahir dari izin Allah. Hidayah yang Allah punya saja itu tidak dibagikan secara cuma-cuma. Kita wajib dan dituntut untuk dapat meraihnya. Hidayah sendiri terpecah, bukan hanya hidayah yang terjabar secara global, namun ada pula hidayah yang datang secara terperinci. Lebih dari itu, setelah hidayah terperinci hadir dalam diri, kita masih membutuhkan hidayah lain, yaitu hidayah untuk mengamalkannya dan hidayah untuk terus istiqamah.
Credit: Google |
Bukankah Allah adalah Rabb yang paling mencintai pujian? Lalu, adakah pujian yang lebih agung dari ucapan alhamdulillah? Betapa... terlalu sering aku mengabaikan kalimat sederhana yang penuh makna ini ketika dihadapkan pada segala situasi terutama pada nikmat-nikmat yang Allah titipkan.
Semoga kita semakin sadar ya awesome readers untuk dapat senantiasa memuji Allah pada setiap keadaan, baik ketika suka maupun duka, aamiin...
0 comments